Sifat dan pengertian aktiva tak berwujud menurut PSAK No.
19 paragraf 12 adalah Aktiva tak berwujud adalah aktiva tidak lancar (non current atau capital
asset yang tidak berwujud dan nilainya tergantung pada
hak-hak yang dinikmati pemiliknya.. Intangible asset tidak
dapat diabaikan oleh perusahaan karena menciptakan cash flow bagi
perushaaan di masa yang akan datang.
Menurut Subramanyam dan Wild (2014), aset tak berwujud
atau intangible asset merupakan hak, keistimewaan, dan manfaat
kepemilikan atau pengendalian.
Intangible asset juga
dikenal dengan intellectual capital, intellectual property, atau knowledge
capital. Paragraph 09 PSAK menyebutkan beberapa contoh
dari intangible asset antara lain ilmu pengetahuan, teknologi,
desain dan implementasi sistem atau proses baru, lisensi, hak kekayaan
intelektual, pengetahuan mengenai nilai pasar dan merek dagang (termasuk merek
produk), piranti lunak computer, hak paten, hak cipta, film gambar hidup,
daftar pelanggan, hak pengusahaan hutan, kuota impor, waralaba, hubungan dengan
pemasok atau pelanggan, hak pemasaran, dan pangsa pasar.
Implementasi intangible asset merupakan
sesuatu yang masih baru, bukan saja di Indonesia tetapi juga dilingkungan bisnis
global. Banyak kesulitan yang timbul dalam mengukur kinerja pemanfaatan intangible asset yaitu
nilainya yang sulit diukur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Guthrie
dan Petty (2000) menyimpulkan bahwa tidak adanya framework sistematis
yang digunakan dalam pelaporan intangible asset dalam
laporan tahunan, dan perusahaan-perusahaan pada umumnya mengungkapkan penilaian
terhadap intangible asset secara
kualitatif. Penemuan ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan menghadapi
kesulitan dalam pengelolaan, pengukuran, dan pelaporan intangible asset. Jenis intangible asset seperti kompetensi
karyawan, hubungan dengan pelanggan, model-model baru simulasi, sistem
administrasi dan komputer tidak diakui dalam model pelaporan manajemen dan
keuangan tradisional. Bahkan dalam prakteknya, beberapa intangible asset seperti
pemilikan merek, paten dan goodwill, masih
jarang dilaporkan di dalam laporan keuangan (IFA, 1998; IASB, 2004). Faktanya,
IAS 38 tentang intangible
asset melarang pengakuan merek yang diciptakan secara internal, logo (mastheads), judul publikasi,
dan daftar pelanggan (IASB,2004). Alternatif pengukuran intangible asset yang
diungkapkan oleh Sveiby (2001) menggunakan empat metode, yaitu:
1. Direct
Intellectual Capital Methods (DIC). Estimasi nilai dolar dari intangible asset dilakukan
dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen yang bervariasi.
Sekali komponen-komponen ini dapat diidentifikasikan, komponen-komponen
tersebut langsung dapat dievaluasi baik secara individu maupun sebagai suatu koefisien
agregat (aggregated coefficient).
2. Market Capitalization Methods (MCM). Perhitungan
terhadap perbedaan antara kapitalisasi pasar perusahaan dengan
ekuitas pemegang sahamnya sebagai nilai dari modal intelektual atau intangible asset perusahaan.
3. Return On
Assets (ROA). Rata–rata laba sebelum pajak dalam suatu
periode dibagi dengan nila aset berwujud. Hasil dari pembagian ini merupakan
ROA perusahaan yang dapat dibandingkan dengan rata-rata industri.
4. Scorecards
Methods (SC). Komponen–komponen dari intangible asset atau
modal intelektual diidentifikasikan. Dan indikator-indikator yang ada
dilaporkan dalam bentuk scorecards atau grafik. Metode Scorecard ini
hampir sama dengan metode direct intellectual capital yang
mengharapkan tidak ada estimasi yang dibuat dari nilai dolar intangible asset.
Sveiby,
Karl Erik. “Intellectual Capital: Thingking Ahead”. Australian CPA, 1997, hal. 18-21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar